Alive:
kisah nyata 72 hari brtahan hidup di pegunungan andes
Kisah nyata pengalaman sekelompok Tim Rugby mahasiswa dari URUGUAY yang dalam perjalanan ke Peru, pesawat yang mereka tumpangi jatuh di Pegunungan Andes. Dalam kecelakaan ini, tidak semua penumpang tewas. Mereka yang bertahan hidup inilah yang akhirnya harus melewati pertarungan batin yang mengerikan dan tidak dapat mereka bayangkan sebelumnya, hingga akhirnya yang tersisa hanya 16 orang yang dapat diselamatkan dengan kondisi fisik yang sangat memperihatinkan.
Kisah bermula dari keinginan sekelompok Tim Rugby mahasiswa yang ingin mengadakan pertandingan kembali di Peru. Mereka lantas menyewa sebuah pesawat terbang bernama Fairchild. Dalam perjalanan dari Uruguay menuju Peru, pesawat yang mereka sewa terpaksa melakukan pendaratan di Argentina, karena cuaca buruk di atas pegunungan Andes. Pertemuan antara panas matahari bertemu dengan udara dingin Pegunungan Andes di siang hari dapat membahayakan pesawat manapun yang melintas diatasnya. Mereka bermalam di Argentina selama 1 malam.
Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan dengan pesawat yang mereka sewa tersebut.
Sekelompok mahasiswa ini berusia antara 20 tahunan dengan tubuh tinggi besar layaknya pemain rugby. Namun keceriaan mereka berubah seketika, sewaktu melewati puncak Gunung Andes pesawat yang mereka sewa tersebut mengalami gangguan mesin, dan akhirnya Fairchild jatuh tepat diatas salah satu puncak tertinggi Andes. Pesawat terseret sangat jauh dan mendarat dengan lambung pesawat. Fairchild akhirnya berhenti setelah menabrak sebuah bukit salju. Ekor pesawat terpisah dari badan pesawat, dan kedua sayap pesawat pun sudah tidak lagi menyatu dengan badan pesawat. Fairchild terlihat seperti cacing dari kejauhan, kira – kira begitulah yang digambarkan seorang paranormal yang ikut melakukan pencarian.
Dari empat puluh lima penumpang hanya tiga puluh tiga orang selamat dari kecelakaan itu. Lima meninggal pada keesokan harinya. Mereka yang selamat termasuk banyak orang yang kemudian meninggal akibat luka-luka mereka. Pilot mereka adalah di antara orang yang tewas, melainkan co-pilot masih hidup.
Dengan suhu turun sampai tiga puluh di bawah nol pada malam hari, kondisi yang brutal dan lima tambahan orang meninggal pada malam pertama.
Orang yang telah tewas diseret ke luar ke bagian belakang pesawat dan dimakamkan di salju yang membantu tubuh mereka tetap utuh dan tidak busuk, termasuk Parrada Nando yang sebenarnya masih hidup dalam keadaan koma yang berlangsung tiga hari. Ketika ia terbangun, ia menemukan bahwa ibu dan adiknya tewas dalam kecelakaan itu.
Mereka yang selamat menghadapi realitas baru mereka harus bertahan hidup dengan persediaan makanan terbatas. Air minum mereka didapat dari mengumpulkan salju ke lembaran besi tua untuk membiarkannya meleleh di bawah sinar matahari dan kemudian mengumpulkannya dalam botol anggur kosong. Tetapi mereka tidak memiliki obat atau perlengkapan pertolongan pertama untuk membantu orang yang terluka dan dokter yang berada di pesawat sudah tewas. Untuk membuat keadaan lebih buruk, mereka hanya memiliki sekaleng sarden, beberapa permen, dan beberapa anggur untuk dibagi antara korban selamat yang tersisa yang tentu saja tidak berlangsung lama. Dengan tidak adamakanan, tidak ada hewan untuk ditangkap. Lalu seseorang diantara mereka mengambil inisiatif untuk mencari makanan lain yang lebih berenergi untuk dapat bertahan hidup. Dialah seorang mahasiswa kedokteran Roberto cannesa, ia mengambil potongan pesawat yang dapat dijadikan pisau dan tanpa ragu memotong daging jenazah korban menjadi potongan – potongan sebesar kotak korek api. Mereka semua tentu tak dapat membayangkan hal ini dapat terjadi, namun bantuan belum tentu akan datang keesokan harinya, dengan ragu – ragu satu persatu dari mereka akhirnya menyerah kepada rasa lapar yang amat sangat, dan memakan daging manusia itu mentah – mentah yang telah dikeringkan di atas atap.
(foto asli: setelah berhasil keluar dari timbunan salju)
(foto asli: setelah keluar dari longsoran salju)
( dalam film: canessa memotong tubuh temanya yang tewas)
Beberapa pesawat pencari dalam hari – hari berikutnya melintas diatas Fairchild yang jatuh dan semua dengan bersemangat melambaikan tangan, namun pilot pencari kesulitan menemukan lokasi mereka karena pesawat itu bercat putih dan menyatu dengan salju. Beberapa orang lantas membuat tanda SOS dari lipstik yang mereka temukan dari tas penumpang, namun baru menyelesaikan huruf S yang pertama, mereka menyerah karena merasa itu tidak akan berhasil.Dari reruntuhan mereka mampu menemukan obeng, kapak, dan sebuah radio transistor yang masih berfungsi namun baterainya akan habis beberapa hari lagi.
Pada hari ke 28, salju longsor menghantam mereka tanpa peringatan dan mengisi bagian dalam pesawat di mana mereka sedang tidur. Delapan dari dua puluh tujuh korban selamat yang tersisa meninggal karena sesak napas di tertimbun salju. Sembilan belas orang terjebak dalam pesawat dan harus keluar meninggalkan bagian dalam pesawat untuk mendapatkan oksigen setelah terjebak di sana selama tiga hari, sampai akhirnya Nando mampu menyodok lubang atap pesawat dengan batang logam. Setelah tiga orang menyusul tewas, diputuskan mengambil risiko melakukan ekspedisi untuk melihat apakah ada sesuatu yang mampu menolong mereka. Beberapa orang berjalan jauh dan menemukan bagian ekor pesawat. Disana terdapat korban lain yang telah tewas tetapi mereka seperti menemukan harta karun disana, sebuah baterai dan koper berisi makanan serta memberikan beberapa peralatan lain untuk mereka. tapi mereka tak bisa membawa semua barang hingga mereka kembali dan membawa beberapa orang lagi untuk membantu mengangkut “harta karun” tadi.
Mereka menghubungkan baterai yang ditemukan tadi dengan radio transistor, lewat radio mereka mendengar bahwa tim penyelamat menghentikan pencarian mereka. Alangkah putus asanya mereka. Akhirnya kelompok ini memutuskan bahwa sekelompok kecil penjelajah harus melakukan perjalanan melalui pegunungan untuk mencari pertolongan. Mereka mengirim tim ekspedisi ketiga yang terdiri dari Roberto Canessa, Nando Parrado dan Vizitin. Berbekal kantong tidur darurat dan sekantong daging manusia untuk persediaan 3 hari merekaberangkat ke barat untuk mendaki gunung kaki 14.447 dalam usaha putus asa untuk menemukan pertolongan untuk mereka semua.
Karena co-pilot telah keliru mengatakan kepada mereka bahwa posisi yang salah, sehingga mereka pikir mereka hanya harus berjalan beberapa kilometer untuk mencari bantuan. Tapi bukannya di Chile seperti mereka berpikir, mereka masih di Argentina dan bermil-mil lebih jauh daripada yang mereka pikir. Dalam perjalanan panjang ini seorang diantara mereka tak sanggup melanjutkan perjalanan, dan ketika itu Nando Parrado yang paling bersemangat naik ke atas sebuah batu dipuncak dan dari kejauhan ia melihat ada bagian gunung yang tidak tertutup salju dengan jarak tempuh sekitar 10 hari. Dengan berbekal daging manusia yang mereka bawa rasanya tidak mungkin untuk mencapai daerah itu dengan bekal yang hanya cukup untuk 3 hari, Nando Parrado lalu mengirim pulang Vizitin dari tim, untuk mengambil seluruh perbekalan.
Kini hanya tinggal Nando Parrado dan Roberto Canessa yang melanjutkan perjalanan, meksipun Roberto Canessa seringkali menyerah dan tidak sanggup lagi berjalan. Setelah berhari – hari lamanya mereka berjalan, Nando terpeleset dan meluncur jauh hampir ke kaki gunung namun ia selamat dan tidak terluka, Canessa menyusulnya. Mereka melanjutkan lagi perjalanan itu hingga menemukan sungai gletser, dan suhu disana lebih hangat dari sebelumnya menjadikan daging – daging yang mereka bawa mulai membusuk, dan karena itulah Canessa terserang diare. Nando Parrado tetap bersemangat hingga dia menemukan padang rumput beserta kawanan sapi dan dia yakin bahwa pasti ada pemiliknya. saking laparnya mereka memakan rumput seperti sapi-sapi itu.
( dalam film : nando dan canessa memakan rumput liar karena lapar )
Keesokan harinya Nando melihat pengembala berkuda menggiring sapi – sapi tersebut namun pengembala itu melihatnya dan berjanji akan kembali. Seorang Pengembala itu kembali dan melemparkan kertas ke seberang sungai tempat Nando berdiri, dan Nando menuliskan bahwa mereka adalah korban pesawat Fairchild, dan 14 orang masih menunggu di atas puncak Andes. Pengembala itu kembali dan akhirnya Nando Parrado dan Roberto Canessa dibawa ke rumah singgah di kaki gunung itu, dan untuk pertama kalinya setelah 72 hari, mereka dapat memakan sesuatu selain daging manusia. Nando dan Roberto hanya mengatakan bahwa mereka dapat bertahan karena memakan coklat yang dibeli ketika transit di Argentina. Bantuan datang beberapa hari setelahnya untuk mengangkut semua korban yang menunggu di puncak Andes itu. Keluarga dan orang tua korban yang terus – menerus mencari selama lebih dari 2 bulan itu sampai mendapat julukan “Orang gila yang mencari anaknya”. Dengan Helikopter Kepolisian di Peru dan Nando Parrado sebagai penunjuk jalan, mereka segera ke lokasi badan pesawat, ternyata mereka selama ini berada di ketinggian 13.500 m dan sulit dibayangkan dapat bertahan selama itu. Ketika semua sudah terselamatkan, semua korban yang selamat dibawa ke Rumah Sakit setempat. Kondisi mereka sangat menyedihkan bagai tulang yang hanya dilapisi kulit, tidak terlihat seperti seorang pemain Rugby yang bertubuh besar. Sebagian besar diantara mereka menceritakan semua pengalaman selama 72 hari itu termasuk ketika harus memakan daging teman – teman mereka sendiri. Meskipun sangat terkejut, namun hal itu pada akhirnya dapat diterima karena tidak ada apapun diatas puncak Andes selain hamparan es. Antropopagi (kanibalisme) yang terjadi ini dapat diterima, bahkan oleh orang tua yang tahu bahwa anaknya yang meninggal telah dimakan, namun itu semua telah menyelamatkan ke 16 korban selamat lainnya.
( 9 dari 19 penumpang yang selamat )
( reunion of andes )
Kini mereka semua telah berusia sekitar 50tahunan, dan setiap tahun mereka mengunjungi “rumah” mereka selama 72 hari itu di atas puncak Andes untuk mengenang teman dan keluarga mereka yang tewas. Atas kejadian itu, kini mereka benar – benar menghargai hidup. Nando Parrado telah sukses sebagai CEO dari beberapa perusahaan di URUGUAY. Cerita ini digambarkan sangat baik oleh Piers Paul Read yang membawa pembaca larut dalam perjuangan para korban. berjudul ALIVE ini sudah diangkat ke layar lebar dengan judul sama ALIVE yang dibintangi Ethan Hawke pada tahun 1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar